Kisah Rakyat Tentang Sejarah Sabung Ayam

Agen Sabung Ayam – Sabung ayam merupakan permainan adu dua ekor ayam jantan dalam sebuah turnamen. Biasanya ayam yang diadu sampai salah satunya kabur ataupun kalah, bahkan ada yang hingga mati. Permainan ini biasanya diikuti oleh si penjudi yang berlangsung tidak jauh dari arena adu ayam tersebut, hal ini dikarenakan dalam permainan yang satu ini, sepertinya kurang menarik jika tidak berhubungan langsung dengan taruhan.

Penggemar dari jenis taruhan yang satu ini juga sangat banyak sekali. Di Indonesia saja sudah hampir 10 juta orang berminat ikut serta dalam permainan taruhan jenis ini. hal ini di sebabkan karena mudahnya bermain taruhan ini dan bisa disaksikan secara live.

Permainan sabung ayam bisa disebut juga seperti berlaga ayam. Permainan ini sudah diperkenalkan sejak kerajaan Demak. Menurut cerita tentang sejarah sabung ayam dari rakyat, seorang pangeran bermain sabung ayam dan telah bertemu ayahnya yang telah menelantarkan ibunya.

Sabung ayam ini sudah dikenal oleh seluruh masyarakat sejak jaman dahulu. Permainan ini merupakan pertarungan dua ayam jago yang memang sudah disiapkan untuk bisa mengikuti ajang pertarungan. Sabung ayam bahkan sudah sangat melegenda Di Indonesia.

Kisah Rakyat Tentang Sejarah Sabung Ayam

Agen Sabung Ayam juga ingin membagikan sedikit kisah rakyat tentang sejarah sabung ayam ini. Pada suatu saat ada seseorang bernama Cindelaras yang mempunyai seekor ayam jago sakti yang tidak pernah terkalahkan oleh ayam mana pun. Atas dasar itulah dirinya pun akhirnya dipanggil oleh Raja Jenggala pada saat itu untuk mengikuti sayembara.

Dimana sayembara tersebut berisi jika ayam sakti milik Cindelaras mampu mengalahkan ayamnya Raden Putra, maka dirinya nanti berhak memperoleh setengah dari seluruh harta kekayaan Sang Raja.

Sebaliknya, jika ayam milik Cindelaras kalah, maka Ia harus bersedia untuk di hukum pacung oleh sang putra Raja. Dan pada akhirnya Cindelaras lah yang keluar sebagai pemenang dan pada saat itu rakyat sangat memuja-muja Cindelaras. Dan pada akhirnya Raden Putra pun mengakui kekalahannya pada saat itu.

Pada masa lalu, Sabung ayam juga dijadikan sebagai politik. Kisah tragedi kematian Prabu Anusapati dari Singosari yang terbunuh saat sedang menyaksikan pertarungan sabung ayam. Kematian Prabu Anusapati terjadi pada hari Buddha Manis atau Rabu Legi ketika sedang ramainya di Istana Kerajaan Singosari dikarenakan adanya pertunjukan sabung ayam dimana siapapun yang ingin masuk kedalam arena sabung ayam telah dilarang membawa senjata apapun termasuk keris.

Sebelum Anusapati berangkat ke arena, Ken Dedes ibunya Anusapati sudah menasehati anaknya agar jangan pernah melepaskan keris pusaka yang dipakainya jika ingin melihat aksi sabung ayam yang diadakan di Istana. Namun dirinya tidak bisa menolak dikarenakan peraturan yang tidak memperbolehkan setiap orang yang datang membawa senjata tajam atau keris.

Hal ini yang kemudian membuatnya mau tidak mau harus melepaskan keris yang dipakainya atas desakan Pranajaya dan Tohjaya. Dan benar saja, dimana pada saat itu terjadi sebuah keributan didalam arena tersebut yang mana hal ini pun menjadi sebuah peristiwa yang dikawahtirkan oleh sang ibu Ken Dedes. Anaknya harus rela terbunuh oleh keris nya sendiri oleh adik dari Tohjaya.

Kemudian jenasah Anusapati dimakamkan di Candi Penataran dan kejadian itu tetap dikenang orang, Anusapati adalah kakak dari Tohjaya dengan ibu Ken Dedes dan bapak Tunggul Ametung sedangkan Tohjaya adalah anak dari Ken Arok dengan Ken Umang itu memang diriwayatkan memiliki kesukaan menyabung ayam.

Memang dalam cerita rakyat terutama Ciung Wanara mengisahkan bahwa keberuntungan dan perubahan nasib seseorang ditentukan oleh kalah menangnya ayam di arena sabung ayam, begitu juga Anusapati bukan kalah dalam adu ayam tetapi dalam permainan ini ia terbunuh.

Kisah Rakyat Tentang Sejarah Sabung Ayam

 Di Bali permainan sabung ayam disebut Tajen. Tajen berasal-usul dari tabuh rah, salah satu yadnya (upacara) dalam masyarakat Hindu di Bali. Tujuannya mulia, yakni mengharmoniskan hubungan manusia dengan bhuana agung.

Yadnya ini runtutan dari upacara yang sarananya menggunakan binatang kurban, seperti ayam, babi, itik, kerbau, dan berbagai jenis hewan peliharaan lain. Persembahan tersebut dilakukan dengan cara nyambleh (leher kurban dipotong setelah dimanterai).

Sebelumnya pun dilakukan ngider dan perang sata dengan perlengkapan kemiri, telur, dan kelapa. Perang sata adalah pertarungan ayam dalam rangkaian kurban suci yang dilaksanakan tiga partai (telung perahatan), yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Perang sata merupakan simbol perjuangan hidup.

Tradisi ini sudah lama ada, bahkan semenjak zaman Majapahit. Saat itu memakai istilah menetak gulu ayam. Akhirnya tabuh rah merembet ke Bali yang bermula dari pelarian orang-orang Majapahit, sekitar tahun 1200.

Serupa dengan berbagai aktivitas lain yang dilakukan masyarakat Bali dalam menjalani ritual, khususnya yang berhubungan dengan penguasa jagad, tabuh rah memiliki pedoman yang bersandar pada dasar sastra. Tabuh rah yang kerap diselenggarakan dalam rangkaian upacara Butha Yad-nya pun banyak disebut dalam berbagai lontar.

Misalnya, dalam lontar Siwa Tattwapurana yang antara lain menyebutkan, dalam tilem kesanga (saat bulan sama sekali tidak tampak pada bulan kesembilan penanggalan Bali). Bathara Siwa mengadakan yoga, saat itu kewajiban manusia di bumi memberi persembahan, kemudian diadakan pertarungan ayam dan dilaksanakan Nyepi sehari. Yang diberi kurban adalah Sang Dasa Kala Bumi, karena jika tidak, celakalah manusia di bumi ini.

Sedangkan dalam lontar Yadnya Prakerti dijelaskan, pada waktu hari raya diadakan pertarungan suci misalnya pada bulan kesanga patutlah mengadakan pertarungan ayam tiga sehet dengan kelengkapan upakara. Bukti tabuh rah merupakan rangkaian dalam upacara Bhuta Yadnya di Bali sejak zaman purba juga didasarkan dari Prasasti Batur Abang I tahun 933 Saka dan Prasati Batuan tahun 944 Saka.

Dalam kebudayaan Bugis sendiri sabung ayam merupakan kebudayaan telah melekat lama. Menurut M Farid W Makkulau, Manu’(Bugis) atau Jangang (Makassar) yang berarti ayam, merupakan kata yang sangat lekat dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar.

Gilbert Hamonic menyebutkan bahwa kultur bugis kental dengan mitologi ayam. Hingga Raja Gowa XVI, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin, digelari “Haaantjes van het Oosten” yang berarti “Ayam Jantan dari Timur.

Dalam kitab La Galigo diceritakan bahwa tokoh utama dalam epik mitik itu, Sawerigading, kesukaannya menyabung ayam. Dahulu, orang tidak disebut pemberani (to-barani) jika tidak memiliki kebiasaan minum arak (angnginung ballo), judi (abbotoro’), dan massaung manu’ (adu ayam), dan untuk menyatakan keberanian orang itu, biasanya dibandingkan atau diasosiasikan dengan ayam jantan paling berani di kampungnya (di negerinya), seperti “Buleng – bulengna Mangasa, Korona Mannongkoki, Barumbunna Pa’la’lakkang, Buluarana Teko, Campagana Ilagaruda (Galesong), Bakka Lolona Sawitto, dan lain sebagainya.

Dan hal sangat penting yang belum banyak diungkap dalam buku sejarah adalah fakta bahwa awal konflik dan perang antara dua negara adikuasa, penguasa semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan, Kerajaan Gowa dan Bone diawali dengan “Massaung Manu”. (Manu Bakkana Bone Vs Jangang Ejana Gowa).

Pada tahun 1562, Raja Gowa X, I Mariogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1548 – 1565) mengadakan kunjungan resmi ke Kerajaan Bone dan disambut sebagai tamu negara. Kedatangan tamu negara tersebut dimeriahkan dengan acara ’massaung manu’. Oleh Raja Gowa, Daeng Bonto mengajak Raja Bone La Tenrirawe Bongkange’ bertaruh dalam sabung ayam tersebut.

Taruhan Raja Gowa 100 katie emas, sedang Raja Bone sendiri mempertaruhkan segenap orang Panyula (satu kampong). Sabung ayam antara dua raja penguasa semenanjung timur dan barat ini bukanlah sabung ayam biasa, melainkan pertandingan kesaktian dan kharisma. Alhasil, Ayam sabungan Gowa yang berwarna merah (Jangang Ejana Gowa) mati terbunuh oleh ayam sabungan Bone (Manu Bakkana Bone).

Kematian ayam sabungan Raja Gowa merupakan fenomena kekalahan kesaktian dan kharisma Raja Gowa oleh Raja Bone, sehingga Raja Gowa Daeng Bonto merasa terpukul dan malu. Tragedi ini dipandang sebagai peristiwa siri’ oleh Kerajaan Gowa.

Di lain pihak, kemenangan Manu Bakkana Bone menempatkan Kerajaan Bone dalam posisi psikologis yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil yang terletak di sekitarnya. Dampak positifnya, tidak lama sesudah peristiwa sabung ayam tersebut serta merta kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone menyatakan diri bergabung dengan atau tanpa tekanan militer, seperti Ajang Ale, Awo, Teko, serta negeri Tellu Limpoe.

Rupanya sabung ayam pada dahulu kala di Nusantara bukan hanya sebuah permainan rakyat semata tetapi telah menjadi budaya politik yang mempengaruhi perkembangan sebuah dinasti kerajaan pada saat itu.